YOGYAKARTA-Sebuah event akbar digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada hari Senin (3/4), kuliah umum bersama Dr. Zakir Naik. Da’i kelas dunia yang dikenal sebagai pakar perbandingan agama tersebut memberikan kuliah umum dengan judul “Religion as an Agent of Peace and Mercy.” Kegiatan hari itu merupakan rangkaian dari program Visit Indonesia 2017 dimana Dr. Zakir Naik memberikan kuliah umum di enam kota, yakni Cibubur, Bandung, Yogyakarta, Ponorogo, Bekasi, dan Makassar.
Kabar tentang kuliah umum oleh Dr. Zakir Naik di UMY disambut dengan sangat antusias oleh puluhan ribu peserta yang mendaftar secara online. Namun karena terbatasnya tempat, panitia membatasi hanya enam ribu peserta saja yang diterima. Perhelatan yang digelar di Sportarium UMY tersebut nampak sangat matang dipersiapkan. Namun sebagaimana dikatakan oleh pepatah, “Tidak ada gading yang tidak retak,” acara hari itu juga menyisakan catatan untuk perbaikan.
Pukul 8.45 WIB Dr. Zakir Naik mulai memberikan pidato yang berlangsung kurang lebih satu jam. Pidato kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Sepanjang sesi pidato seorang penerjemah menerjemahkan pidato Dr. Zakir Naik dengan teknik subtitle langsung dimana subtitle diketik dan ditayangkan pada layar bersamaan dengan tayangan gambar pembicara. Nampak tidak ada masalah serius dengan teknik penerjemahan ini.
Masalah mulai muncul ketika sesi tanya jawab. Acap kali penerjemah lisan (interpreter) tidak bisa menangkap pesan Dr. Zakir Naik secara utuh. Sebagai contoh, ketika seorang penanya bernama Cintya Paera, bertele-tele dalam menyampaikan pertanyaannya, Dr. Zakir Naik mengingatkannya dengan meminta bantuan penerjemah. Dia berkata, “Translate to her to ask the question in two or three sentences, one question, not more than that. (Terjemahkan untuknya untuk menyampaikan pertanyaannya dalam dua atau tiga kalimat, satu pertanyaan, tidak lebih dari itu). Penerjemah nampak kebingungan dan tidak memahami apa yang dikehendaki oleh Dr. Zakir Naik. Bukannya menerjemahkan apa yang dikatakan oleh Dr. Zakir Naik, dia justru mulai menerjemahkan pertanyaan yang diajukan si penanya. Dr. Zakir Naik nampak agak geram dan dengan nada tegas berbicara kepada penerjemah bahwa yang ia maksud adalah si penerjemah diminta mengatakan kepada si penanya agar dia menyampaikan pertanyaannya dalam dua atau tiga kalimat saja. Suasana menjadi sangat kikuk karena ada jeda keheningan beberapa saat. Para pesertapun tertawa riuh, geli melihat penerjemah yang kebingungan.
Puncaknya adalah ketika seorang peserta perempuan bernama Michele bertanya perihal masalah dalam keluarganya. Dia menyampaikan bahwa dia adalah seorang Muslim tetapi Ibunya adalah non Muslim. Perbedaan keyakinan ini membuatnya menjadi jauh dari Ibunya dan dia merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut. Dia juga gelisah jika adiknya yang juga ingin menjadi seorang Muslim akan mendapatkan masalah yang sama. Selama bermenit-menit terjadi kesalahpahaman dikarenakan ketika Dr. Zakir Naik memberikan jawaban, jawabannya tersebut tidak bisa dipahami oleh si penanya, dikarenakan penerjemah menerjemahkannya secara tidak akurat.
Seorang peserta yang kemudian diketahui bernama Nur Listiana (20) turun membantu. Nur Listiana adalah pengajar bahasa Inggris di LKP Kampung Inggris Semarang. Ia sendiri hari itu datang sebagai peserta biasa yang duduk di tribun atas. Melihat miskomunikasi yang sangat mengganggu terjadi, ia tergerak untuk membantu. Ia bergegas turun dari tribun, melewati deretan ratusan peserta lain, dan meraih mikrofon. Dengan suara jernih dan artikulasi yang jelas ia menerjemahkan interaksi antara Dr. Zakir Naik dan Michele sampai tercapai kesepahaman. Tidak hanya itu, adik Michele yang juga telah berdiri di sampingnya juga ikut bertanya secara langsung kepada Dr. Zakir Naik, bahkan akhirnya menyatakan menerima Islam dan bersyahadat saat itu juga. Situasi membuat begitu merinding ketika bacaan syahadat diikuti dengan pekik takbir yang membahana oleh ribuan orang di ruangan itu. (Hamzah)
[powr-hit-counter id=63ce1b57_1491407667212]